Harajuku secara mutakhir lebih populer disematkan bagi area di seputar Stasiun JR Harajuku, distrik Shibuya, Tokyo. Area ini tersohor dan lebih familiar sebagai tempat kawula muda berkumpul dengan lokasi menyebar yang mencakup Kuil Meiji, Taman Yoyogi, pusat perbelanjaan Jalan Takeshita, departemen store Laforet serta Gimnasium Nasional Yoyogi. Terselip juga sebuah kabar bahwa, Harajuku sebenarnya bukan nama resmi sebuah tempat atau daerah dan anehnya, ia tak dicantumkan ketika menulis alamat.
Pada era 80-an, secara embrional Harajuku didentikkan sebagai area di mana subkultur Takeno-zoku berkembang. Seiring perputaran waktu, hingga detik ini kita bisa menjumpai sekelompok anak muda berpakaian agak “nyleneh” yang tak begitu sulit ditemukan di kawasan ini. Pada era-era tahun yang sama pula, Jalan Takeshita menjadi ramai, kondisi ini terjadi lebih karena orang ingin melihat Takenoko-zoku yang berpenampilan “nyleneh” sembari menari di jalanan. Akhirnya, setelah pemerintah menetapkannya sebagai kawasan khusus pedestrian, Harajuku bak disulap menjadi tempat berkumpul favorit kawula muda.
Rupa-rupanya, kebiasaan kawula muda yang berjiwa “indie” ini, menjadikan area Harajuku kian ramai, gemerlap serta berbeda dari kawasan-kawasan sekitarnya. Sedemikian rupa perubahan itu terjadi pada daerah Harajuku, sehingga menarik minat anak-anak sekolah dari pelbagai penjuru Jepang mengagendakan Harajuku sebagai tempat tujuan studi wisata. Tak lain dan tak bukan, semua ini merupakan efek domino dari kebiasaan serta perilaku keseharian para pemudanya yang sedikit berjiwa eksotis, lepas dan bebas.
Awal tahun 70-an, Harajuku menjadi pusatnya belanja busana yang terkenal hingga ke seluruh Jepang, apalagi setelah media massa khusus fashion, Anan dan non-no mengekspose besar-besaran kawasan ini.
Akhirnya terdapat kesepakatan, label “Harajuku” dipersempit hanya bagi kawasan utara Omotesando, sementara itu, Onden merupakan nama sebuah kawasan selatan Omotesando, akan tetapi nama ini kurang begitu populer untuk ikut ke dalam area Harajuku.
Globalisme seakan-akan ikut meramaikan ‘hura-hura’ kawula muda ini, memberinya tempat dan angin surga bagi tumbuh-kembangnya budaya pakaian serba ‘wah’ tersebut. Rupa-rupanya, peribahasa nenek moyang kita benar-benar mujarab, “lain lubuk lain pula ikannya”, maksudnya, beda bangsa dan negara beda pula adat kebiasaannya. Apakah ‘hura-hura’ dalam konteks Harajuku itu termasuk kategori budaya sehingga pemerintah Jepang menjadikannya sebagai determinasi tujuan wisata, maksudnya wisata budaya? Entahlah, lain lubuk memang lain pula ikannya. Kalau seumpama itu terjadi di Indonesia maka, ‘keharuan’ macam apa yang mesti kita rasakan? Entahlah, mungkin globalisme yang kita gadang-gadang bakal memberikan pencerahan pada segenap aspek kehidupan di bangsa ini, akan bergeser sebagai ‘gombalisme’ alias tak bernilai apapun kecuali dekadensi moral sebuah bangsa. Alasan mengharukan ini mencuat cukup kuat jika dikaji dari sisi tradisi budaya bangsa Indonesia, namun entah tatkala ditilik dari kaca pandang lain. Keharuan apa lagi yang akan lahir, entahlah.
[Source : http://www.ppromarching.com]
Tags : Fashion, Street Style, Harajuku Style, Visual Kei, Gothic Lolita, Decora & Kewaii, Ganguro & Kogal, Cosplay, Harajuku Indonesia.
20.06 |
Category: |
0
comments
Comments (0)