Per etimologis, Cosplay (kosupure) lebih merujuk pada frase bahasa Inggris tapi ‘made in’ Jepang (wasei-eigo). Cosplay sendiri berasal dari “costume” (kostum) dan “play” (bermain) yang secara harafiah berarti hobi memakai pakaian plus aksesoris lengkap dengan riasan wajah dan tatanan rambut menyerupai para tokoh tenar dalam anime, manga, manhwa, dongeng, video game, penyanyi dan musisi idola serta kartun Nickelodeon. Pelakunya sendiri familiar dengan julukan cosplayer atau disingkat layer bagi yang telah terdengar akrab di telinga penggemar.
Di negara kelahirannya, Jepang, party-party a la cosplay mudah ditemukan pada sebuah acara yang diadakan komunitas cosplay (dojin circle). Komunitas dimaksud membaur akrab dalam perkumpulan seperti Comic Market, namun yang lebih kolosal, komunitas cosplay ini sangat identik juga dengan fans berat sebuah kelompok musik tertentu, biasanya jenis musik yang bergenre visual kei. Hingga kini, para cosplayer berikut ‘simpatisannya’ telah tersebar luas di beberapa Negara di antaranya, Amerika, Eropa, RRC, Filipine serta tak mau ketinggalan, Indonesia2.
Baru sekitar awal tahun 1985, para hobbies cosplay kian merambah di hampir setiap kota di negeri matahari terbit itu. Pertanyaan menelisik selanjutnya adalah, seberapa jauh pengaruh dari kedua budaya fashion style tersebut terhadap pilihan model busana kawula muda Jepang?
Lumayan sulit juga menengarai fenomena “siapa mempengaruhi siapa” atau “siapa menginspirasi siapa”. Namun jika ditilik dari perspektif cultural studies3 yang lebih melihat kepada peran media massa sebagai pembawa sekaligus pembentuk opini publik, maka bolehlah berasumsi sejenak bahwa budaya Harajuku’s Style yang mengilhami cara berdandan sebagian besar kawula muda ‘saudara tua kita’4 itu, lebih massif persebaran serta pergerakannya karena ia telah menjadi sebuah sistem budaya tentang cara berpakaian kosmopolit tertentu yang bukan merupakan upaya imitasi dari tokoh reka tertentu seperti halnya yang terjadi dalam Cosplay. Budaya Harajuku lambat-laun kian mengakar kuat ke dalam sistem perilaku keseharian para pelakunya. Ditambah lagi, ekspose besar-besaran dari media massa kian mempertajam opini yang akan dan telah dikonstruksi. Seperti apa yang pernah dilakukan oleh majalah fashion terkenal di Jepang, Anan dan non-no. Setelah sukses dengan pemberitaan tersebut, tak pelak Harajuku menjadi sentra busana terkenal di Jepang hingga kini.
Persebaran ‘budaya’ Cosplay lebih terbatas sifatnya, ia lebih bergantung kepada seberapa banyak tokoh dunia imaji yang layak untuk diimitasi baik keseluruhan atau sebagian performanya. Semakin banyak-beragam tokoh imaji yang tampil, kian banyak pula puspa-ragam cosplayer yang lahir kemudian, begitu pula sebaliknya. Di balik trendsetter ini, ada juga cosplayer yang berpendapat bahwa Harajuku’s Style adalah bagian dari Cosplay5. Berpendapat seperti itu boleh-boleh saja dan tak ada larangan, sepanjang bisa dipertanggungjawabkan baik dari kaca mata teoritis maupun praksis.
Sementara itu, jika ditelisik dari persfektif interaksionisme simbolik6, Francis Abraham dalam Modern Sociological Theory (1982)7, lebih memahami fenomena Harajuku dan Cosplay di atas sebagai akibat dari tingginya tingkat frekuensi terjadinya interaksi antar individu dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, di mana variabel atas simbol-simbol secara aktif dikomunikasikan dalam wujud yang begitu spesifik.
Detail spesifikasi yang dimaksud oleh Francis Abraham (1982) tentang diskursus Harajuku dan Cosplay tadi, kemudian diterjemahkan secara imperatif oleh Roland Barthes (1990)8 ke dalam teori fashion system. Barthes memandang fashion sebagai sebuah sistem tanda (signs). Di mana cara berpakaian tidak hanya dilihat sebagai cara untuk menutup tubuh dengan pakaian guna menghindari udara dingin atau dari terik matahari. Kebiasaan dan cara kita berpakaian adalah sebuah tanda untuk menunjukkan siapa diri atau jati diri kita, nilai budaya apa yang kita anut dan kita pegang sebagai prinsip serta identitas hidup. Maka, dari padanya tersimpulkan sendiri bahwa, cara berpakaian tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang netral dan sesuatu yang lumrah.
[Source : http://www.ppromarching.com]
Tags : Fashion, Street Style, Harajuku Style, Visual Kei, Gothic Lolita, Decora & Kewaii, Ganguro & Kogal, Cosplay, Harajuku Indonesia.
20.05 |
Category: |
0
comments
Comments (0)