Siapa tak kenal dengan sosok Maia, baik ketika populer dalam kelompok Ratu-nya hingga kini ngetop dengan Duo Maia-nya. Katakanlah bisa juga, figure Agnes Monica, artis muda bertalenta komplit dengan energi musikalitasnya yang di atas rata-rata artis seusianya ini, bagi para penggemar berat infotainmen tentu telah tak asing lagi, apalagi di kalangan para remaja dan ABG. Bagi ibu-ibu aktivis kegiatan arisan pun, tak perlu ragu atau malu-malu untuk ‘memuja’ sang idola ini. Toh, sah-sah saja kok mengidolakannya, memangnya nggak boleh? Boleh-boleh saja, asal tak perlu bersaing serius dengan putra-putrinya, apalagi sampai bareng-bareng ikut-ikutan berjingkrak-jingkrak di bawah panggung konser hanya karena saking ngefans-nya, sehingga antara anak dan sang mama sudah tak ada bedanya lagi, siapa yang ngantar dan siapa yang minta diantar nonton sang idola, seolah mereka sama-sama .....

01-1-harajuku-styleApa sih yang menjadi magnet kedua bintang ini? Masih muda.. sudah pasti, cantik berbalut seksi.. semua orang pasti meng-iyakannya, cerdas dan bertalenta seni tinggi.. memang telah terbukti dan, apalagi dandanannya.. begitu fenomenal!!

Nah, ..dandanannya inilah yang hampir terselip samar sehingga nyaris luput dari pusat perhatian publik. Semua pasang mata kian terbuai manja oleh pesona eksotika mozaik warna-warni tema kostum yang kerap dipakai Maia dan Agnes ketika mereka manggung. Gema energy-aura extravaganza yang mereka tularkan kepada penonton saat pentas dengan ditingkahi balutan busana harajuku’s style bernuansa postmo ini, agaknya semakin menghentak imaji penonton lalu membawanya ke nuansa ‘kejepang-jepangan’ dan, kian mengukuhkan predikat performa keartisan mereka sebagai ‘penganut mazhab’ fashion system. Yakni salah satu ciri khas model berpakaian yang selalu up to date, mengikuti mainstream perkembangan dan trendsetter dunia fashion modern. Inilah the jap’s style atau boleh juga menyebutnya sebagai the harajuku’s style1. Salah satu ‘varian’ dalam fashion system a la Jepang yang dua dekade belakangan ini sempat menginspirasi kaum muda di beberapa negara Asia, sebagian kecil Eropa, termasuk Indonesia. Maia dan Agnes tadi, hanyalah sekelumit representasi “wabah” budaya fashion style yang tengah digandrungi sekelompok anak muda kosmopolit saat ini.

[Source : http://www.ppromarching.com]

Tags : Fashion, Street Style, Harajuku Style, Visual Kei, Gothic Lolita, Decora & Kewaii, Ganguro & Kogal, Cosplay, Harajuku Indonesia.
Harajuku secara mutakhir lebih populer disematkan bagi area di seputar Stasiun JR Harajuku, distrik Shibuya, Tokyo. Area ini tersohor dan lebih familiar sebagai tempat kawula muda berkumpul dengan lokasi menyebar yang mencakup Kuil Meiji, Taman Yoyogi, pusat perbelanjaan Jalan Takeshita, departemen store Laforet serta Gimnasium Nasional Yoyogi. Terselip juga sebuah kabar bahwa, Harajuku sebenarnya bukan nama resmi sebuah tempat atau daerah dan anehnya, ia tak dicantumkan ketika menulis alamat.

01-2-harajukustationbuildingPada era 80-an, secara embrional Harajuku didentikkan sebagai area di mana subkultur Takeno-zoku berkembang. Seiring perputaran waktu, hingga detik ini kita bisa menjumpai sekelompok anak muda berpakaian agak “nyleneh” yang tak begitu sulit ditemukan di kawasan ini. Pada era-era tahun yang sama pula, Jalan Takeshita menjadi ramai, kondisi ini terjadi lebih karena orang ingin melihat Takenoko-zoku yang berpenampilan “nyleneh” sembari menari di jalanan. Akhirnya, setelah pemerintah menetapkannya sebagai kawasan khusus pedestrian, Harajuku bak disulap menjadi tempat berkumpul favorit kawula muda.

Rupa-rupanya, kebiasaan kawula muda yang berjiwa “indie” ini, menjadikan area Harajuku kian ramai, gemerlap serta berbeda dari kawasan-kawasan sekitarnya. Sedemikian rupa perubahan itu terjadi pada daerah Harajuku, sehingga menarik minat anak-anak sekolah dari pelbagai penjuru Jepang mengagendakan Harajuku sebagai tempat tujuan studi wisata. Tak lain dan tak bukan, semua ini merupakan efek domino dari kebiasaan serta perilaku keseharian para pemudanya yang sedikit berjiwa eksotis, lepas dan bebas.
Awal tahun 70-an, Harajuku menjadi pusatnya belanja busana yang terkenal hingga ke seluruh Jepang, apalagi setelah media massa khusus fashion, Anan dan non-no mengekspose besar-besaran kawasan ini.

Akhirnya terdapat kesepakatan, label “Harajuku” dipersempit hanya bagi kawasan utara Omotesando, sementara itu, Onden merupakan nama sebuah kawasan selatan Omotesando, akan tetapi nama ini kurang begitu populer untuk ikut ke dalam area Harajuku.

Globalisme seakan-akan ikut meramaikan ‘hura-hura’ kawula muda ini, memberinya tempat dan angin surga bagi tumbuh-kembangnya budaya pakaian serba ‘wah’ tersebut. Rupa-rupanya, peribahasa nenek moyang kita benar-benar mujarab, “lain lubuk lain pula ikannya”, maksudnya, beda bangsa dan negara beda pula adat kebiasaannya. Apakah ‘hura-hura’ dalam konteks Harajuku itu termasuk kategori budaya sehingga pemerintah Jepang menjadikannya sebagai determinasi tujuan wisata, maksudnya wisata budaya? Entahlah, lain lubuk memang lain pula ikannya. Kalau seumpama itu terjadi di Indonesia maka, ‘keharuan’ macam apa yang mesti kita rasakan? Entahlah, mungkin globalisme yang kita gadang-gadang bakal memberikan pencerahan pada segenap aspek kehidupan di bangsa ini, akan bergeser sebagai ‘gombalisme’ alias tak bernilai apapun kecuali dekadensi moral sebuah bangsa. Alasan mengharukan ini mencuat cukup kuat jika dikaji dari sisi tradisi budaya bangsa Indonesia, namun entah tatkala ditilik dari kaca pandang lain. Keharuan apa lagi yang akan lahir, entahlah.

[Source : http://www.ppromarching.com]

Tags : Fashion, Street Style, Harajuku Style, Visual Kei, Gothic Lolita, Decora & Kewaii, Ganguro & Kogal, Cosplay, Harajuku Indonesia.
Per etimologis, Cosplay (kosupure) lebih merujuk pada frase bahasa Inggris tapi ‘made in’ Jepang (wasei-eigo). Cosplay sendiri berasal dari “costume” (kostum) dan “play” (bermain) yang secara harafiah berarti hobi memakai pakaian plus aksesoris lengkap dengan riasan wajah dan tatanan rambut menyerupai para tokoh tenar dalam anime, manga, manhwa, dongeng, video game, penyanyi dan musisi idola serta kartun Nickelodeon. Pelakunya sendiri familiar dengan julukan cosplayer atau disingkat layer bagi yang telah terdengar akrab di telinga penggemar.

01-3-cosplayDi negara kelahirannya, Jepang, party-party a la cosplay mudah ditemukan pada sebuah acara yang diadakan komunitas cosplay (dojin circle). Komunitas dimaksud membaur akrab dalam perkumpulan seperti Comic Market, namun yang lebih kolosal, komunitas cosplay ini sangat identik juga dengan fans berat sebuah kelompok musik tertentu, biasanya jenis musik yang bergenre visual kei. Hingga kini, para cosplayer berikut ‘simpatisannya’ telah tersebar luas di beberapa Negara di antaranya, Amerika, Eropa, RRC, Filipine serta tak mau ketinggalan, Indonesia2.

Baru sekitar awal tahun 1985, para hobbies cosplay kian merambah di hampir setiap kota di negeri matahari terbit itu. Pertanyaan menelisik selanjutnya adalah, seberapa jauh pengaruh dari kedua budaya fashion style tersebut terhadap pilihan model busana kawula muda Jepang?



Lumayan sulit juga menengarai fenomena “siapa mempengaruhi siapa” atau “siapa menginspirasi siapa”. Namun jika ditilik dari perspektif cultural studies3 yang lebih melihat kepada peran media massa sebagai pembawa sekaligus pembentuk opini publik, maka bolehlah berasumsi sejenak bahwa budaya Harajuku’s Style yang mengilhami cara berdandan sebagian besar kawula muda ‘saudara tua kita’4 itu, lebih massif persebaran serta pergerakannya karena ia telah menjadi sebuah sistem budaya tentang cara berpakaian kosmopolit tertentu yang bukan merupakan upaya imitasi dari tokoh reka tertentu seperti halnya yang terjadi dalam Cosplay. Budaya Harajuku lambat-laun kian mengakar kuat ke dalam sistem perilaku keseharian para pelakunya. Ditambah lagi, ekspose besar-besaran dari media massa kian mempertajam opini yang akan dan telah dikonstruksi. Seperti apa yang pernah dilakukan oleh majalah fashion terkenal di Jepang, Anan dan non-no. Setelah sukses dengan pemberitaan tersebut, tak pelak Harajuku menjadi sentra busana terkenal di Jepang hingga kini.
Persebaran ‘budaya’ Cosplay lebih terbatas sifatnya, ia lebih bergantung kepada seberapa banyak tokoh dunia imaji yang layak untuk diimitasi baik keseluruhan atau sebagian performanya. Semakin banyak-beragam tokoh imaji yang tampil, kian banyak pula puspa-ragam cosplayer yang lahir kemudian, begitu pula sebaliknya. Di balik trendsetter ini, ada juga cosplayer yang berpendapat bahwa Harajuku’s Style adalah bagian dari Cosplay5. Berpendapat seperti itu boleh-boleh saja dan tak ada larangan, sepanjang bisa dipertanggungjawabkan baik dari kaca mata teoritis maupun praksis.

Sementara itu, jika ditelisik dari persfektif interaksionisme simbolik6, Francis Abraham dalam Modern Sociological Theory (1982)7, lebih memahami fenomena Harajuku dan Cosplay di atas sebagai akibat dari tingginya tingkat frekuensi terjadinya interaksi antar individu dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, di mana variabel atas simbol-simbol secara aktif dikomunikasikan dalam wujud yang begitu spesifik.
Detail spesifikasi yang dimaksud oleh Francis Abraham (1982) tentang diskursus Harajuku dan Cosplay tadi, kemudian diterjemahkan secara imperatif oleh Roland Barthes (1990)8 ke dalam teori fashion system. Barthes memandang fashion sebagai sebuah sistem tanda (signs). Di mana cara berpakaian tidak hanya dilihat sebagai cara untuk menutup tubuh dengan pakaian guna menghindari udara dingin atau dari terik matahari. Kebiasaan dan cara kita berpakaian adalah sebuah tanda untuk menunjukkan siapa diri atau jati diri kita, nilai budaya apa yang kita anut dan kita pegang sebagai prinsip serta identitas hidup. Maka, dari padanya tersimpulkan sendiri bahwa, cara berpakaian tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang netral dan sesuatu yang lumrah.

[Source : http://www.ppromarching.com]

Tags : Fashion, Street Style, Harajuku Style, Visual Kei, Gothic Lolita, Decora & Kewaii, Ganguro & Kogal, Cosplay, Harajuku Indonesia.